“Habis Gelap Terbitlah Terang” menjadi bacaan best-seller pada zamannya dan menjadi pintu gerbang kesadaran kemerdekaan dan kebangsaan. Gerakan kemerdekaan memicu munculnya sekolah – sekolah perempuan yang juga mengajarkan baca – tulis dan pengajaran perempuan sebagai manusia merdeka.
Perempuan – perempuan yang paham baca – tulis mulai bergabung dengan organisasi sebagai sayap gerakan perempuan dan mendirikan organisasi sendiri. Puncaknya adalah Kongres Perempuan Pertama tahun 1928.
Pasca kemerdekaan, organisasi – organisasi perempuan semakin solid dan radikal. Definisi perempuan berkembang secara esensialis dan konstuktivis. Contoh dua organisasi yang berpengaruh adalah Perwari dan Istri Sedar (Gerwani). Banyak Perempuan semakin politis, salah satunya Sri Mangun Sarkoro yang mendirikan Partai Wanita Rakyat.
Demonstrasi pertama menolak poligami dan protes kebijakan Soekarno diadakan pada 1953. Soekarno punya dua pandangan terkait gerakan perempuan, ia menolak perempuan menjadi lebih politis, tetapi disisi lain Gerwani dijadikan boneka untuk mendukung kebijakan presiden. Pada 1959, disahkan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 tentang penetapan hari ibu sebagai hari gerakan perempuan.
Peristiwa 1965 membuat gerakan perempuan harus mundur. Kata feminisme menjadi tabu dan perempuan dikunci dalam definisi reproduktif dan esesialis. Organisasi perempuan politis yang berafiliasi dengan PKI dibabat habis. Organisasi Perwari dan berbagai organisasi lain dipaksa disatukan, menjadi Kowani (Kongres Wanita Indonesia), di mana pucuk-pucuk pimpinan dipilih oleh Presiden Soeharto. Sementara itu gerakan perempuan Muslim bermusyawarah dibawah sayap organisasi Islam (BMPII).
Berbagai akademisi dan aktivis perempuan tidak tinggal diam. Mereka bergabung dalam forum – forum internasional seperti kongres di kairo dan PBB. Pada tahun 1975, Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) disahkan. Hal ini berlanjut hingga didirikannya kementrian muda urusan perempuan di Indonesia.
Di akhir pemerintahan Soeharto terjadi tragedi berdarah pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Indonesia, yang banyak dialami perempuan keturunan Tionghoa. Hal ini mendesak berdirinya Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menjadi ujung tombak advokasi kebijakan perempuan serta rekonsiliasi perempuan dan masyarakat pasca konflik SARA.
Organisasi perempuan mulai bangkit kembali melakukan pertemuan besar, seperti Koalisi Perempuan Indonesia di Yogyakarta Organisasi ini menghasilkan kelompok kerja yang merumuskan dan mengadvokasi kebijakan feminis di tingkat negara. Beberapa UU dan kebijakan pro-feminis: UU Pengarusutamaan Gender 2001, UU Pemilu dan Perwakilan Perempuan 2003-2007, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2004, UU Kewarganegaraan 2006.
Kajian seksualitas berkembang dan memengaruhi kajian feminisme. Definisi perempuan dilengkapi dengan analisa seksualitas dan reproduksi. Perempuan yang selama ini didefiniskan melalui jenis kelamin biologis diperluas menjadi perempuan sosiologis (Transpuan). .