Skip to content Skip to footer

Refleksi Diskusi Kolektif Festival Pelangi

Refleksi Diskusi Kolektif Festival Pelangi 

Perayaan Pride Month memang sudah lewat tapi bukan berarti perjuangan kawan-kawan LGTBIQ+ berhenti begitu saja. Festival Pelangi, hasil kolaborasi In-Docs, Arus Pelangi, dan Jakarta Feminist, hadir untuk melanjutkan perjuangan kawan-kawan LGBTIQ+ dengan merefleksikan kembali nilai inklusivitas melalui pemutaran film dan diskusi bertema keragaman gender dan seksualitas. 

Festival Pelangi diawali dengan pemutaran film mandiri pada 12-15 Agustus 2022 dengan menghadirkan empat film pendek: Cunenk (Rofie Nur Fauzie & Mohamad Sulaeman, 2020), Emak Menolak (Anggun Pradesha, 2021), Dear to Me (Monica Vanesa Tedja, 2021), dan Kado (Aditya Ahmad, 2018). Kegiatan puncak diadakan pada 16 Agustus dengan pemutaran bersama film Cunenk dan diskusi yang dipandu oleh Rebecca Nyuei (Yayasan HIVOS) bersama narasumber Ridho Herewila (Independent Men of Flobamora NTT/IMoF NTT), Eman Harundja (Komunitas Sehati Makassar/KSM), dan Tuani Marpaung (LBH Apik Jakarta). 

Simak rangkuman diskusi kami berikut.  

Bagaimana media, termasuk film, menangkap realita kehidupan LGBTIQ+ di Indonesia saat ini? Apa saja diskriminasi yang dialami oleh kawan-kawan LGBTIQ+ karena framing negatif media dan film? 

Ridho: Media memberi dampak yang besar, baik negatif maupun positif tapi media yang menangkap realita LGBTIQ sangat minim, terutama di negara yang homophobic ini. Tidak semua (media) berani menayangkan hal itu. LGBTIQ+masih dianggap sebagai produk barat, sebagai kelainan mental. Itulah stigma yang membuat komunitas sering mengalami persekusi dan lainnya, seperti di tempat kerja. 

Eman: Banyak sekali berita negatif tentang ini di media, 80% diantaranya negatif. KSM (Komunitas Sehati Makassar) pernah mendokumentasikan, selama 12 tahun ada 360 berita, 28 berita di antaranya bersifat negatif. Media saat ini belum terlalu paham isu keberagaman gender atau isu lainnya. Dari berita itu berdampak pada komunitas, bisa saja dalam hal keamanannya. Itu saya alami sendiri. Ketika perayaan IDAHOBIT (Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia), kami banyak mengunggah kampanye di sosial media. Dalam dua minggu kami diteror dan merasa tidak aman. Berita negatif yang muncul juga seolah diamini. Celakanya, masyarakat jarang mencari tahu berita yang benar, jika berhubungan dengan topik keragaman gender dan seksualitas. KSM pernah melakukan somasi pada salah satu berita sensasional dan negatif tentang ini. Tapi saat itu, pihak berwenang justru setuju bahwa berita tersebut benar dan tidak melanggar apapun, berita tersebut yang dibutuhkan masyarakat. Gugatan kami tidak dipertimbangkan. Media (di Indonesia) saat ini kurang ramah terhadap komunitas LGBTIQ+.

Bagaimana hukum di Indonesia menjawab diskriminasi yang dialami oleh kawan-kawan LGBTIQ+? 

Tuani: Secara regulasi terkait anti-diskriminasi sudah baik, tercantum jelas di UUD dan Deklarasi Internasional HAM yang menjamin hak hidup, termasuk mengembangkan diri dan pendidikan. Pasal 28 Ayat 1 UUD menyebutkan bagaimana setiap orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Pasal 28 Ayat 4 perlindungan, pengajuan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara. Pasal 28 Ayat 1 Poin 5 penegakan HAM diatur lebih lanjut di UU, seperti UU HAM Pasal 3 lebih secara jelas menyatakan perlindungan tanpa diskriminasi kepada setiap orang, bukan setiap warga negara, artinya siapapun yang tinggal di Indonesia berhak dilindungi. Jadi, jika berbicara regulasi itu banyak sekali dan dijamin. Sayangnya, media cenderung melihat keberagaman dan orientasi seksual dengan menggiring opini negatif. Masyarakat juga belum tersosialisasi dengan isu ini. Akibatnya, banyak perundungan dan ujaran kebencian bagi komunitas. Selain itu, jika seorang dari komunitas LGBTIQ+ melakukan tindak pidana, media cenderung menyoroti orientasi seksualnya, bukan tindakannya. Seharusnya, jurnalis memperhatikan kode etik dalam penyiaran, tidak menggiring opini sehingga memunculkan respon negatif masyarakat. 

Apa yang bisa dilakukan, jika kawan-kawan melakukan somasi terhadap berita, seperti yang dilakukan Kak Eman, tapi tidak direspon oleh pihak berwenang dan media?

Tuani: Beberapa media belum sepenuhnya paham isu seksualitas dan hanya mengejar perhatian masyarakat, tanpa memperhatikan kondisi psikologis pembaca atau objek berita. Sudah seharusnya media memperhatikan kode etik, misalnya ketika akan menerbitkan berita perlu persetujuan dari narasumber. Maka itu, penting sekali dilakukan edukasi kepada media, mengubah perspektif mereka secara perlahan. Jika media sudah dirasa merugikan dan somasi tidak direspon positif, kita bisa menegur mereka dengan berkirim surat atau bermediasi. Kami punya pengalaman seperti itu. Sampaikan pendapat kita soal topik yang dibahas dan dampaknya. Memang, tidak banyak media yang setelah itu bersedia memperbaiki tulisannya, tapi setidaknya kita sudah melakukan sosialisasi kepada media atau jurnalis secara tidak langsung. Kita berhak dan wajib menegur dan mengedukasi mereka.

Bagaimana narasi atau perspektif film, maupun buku yang seharusnya dipakai untuk memotret LGBTIQ+? 

Ridho: Pembuat film maupun media harus mendengarkan apa yang diinginkan dan diperlukan komunitas LGBTIQ+. Kadang, banyak media yang ingin mengangkat LGBTIQ+ tapi kurang paham isunya. Alangkah baiknya kalau langsung melibatkan komunitas itu sendiri. Sehingga, karya yang dihasilkan tidak memberikan meninggalkan pemahaman dan stigma negatif bagi komunitas. Khusus IMOF NTT, kami membentuk grup khusus melibatkan media di Kupang dan NTT. Tugas kami adalah berusaha memberikan edukasi dan pemahaman terutama soal SOGIESC (Sexual orientation, Gender Identity, Expression, Sex characteristic). Kalau ada berita yang sedikit negatif, kami berembuk dalam grup itu, berusaha mengawal setiap berita negatif terhadap LGBTIQ+ apapun yang ada di Kupang dan NTT. Kita diskusi dan mengambil satu tindakan, kita mengawali setiap berita di Kupang dan NTT.

Eman: Di KSM, kami juga ada forum yang berhubungan keberagaman SOGIESC, khususnya untuk pembuat film pemula dan muda, biasanya individu yang baru menyelesaikan studi, dan sedang membuat cerita pendek atau naskah. Pengalaman kami bertemu dengan mereka, kami dampingi mereka agar bisa membuat film berdasarkan saran dan harapan komunitas, jangan sampai cerita yang dibangun membuat citra negatif. Perlu mengangkat perspektif yang berbeda dan berdampak positif bagi LGBTIQ+.

Tuani: Setuju dengan Kak Ridho dan Kak Eman, dalam pembuatan film ataupun narasi perlu melibatkan komunitas, tidak hanya sebagai konsultan atau pendamping, tapi juga bisa sebagai aktor. Itu menyangkut persamaan hak untuk berekspresi dan berpartisipasi sesuai pasal 19 Deklarasi Universal HAM. Film memang sarana hiburan tapi perlu ada muatan edukasinya, seperti bagaimana seseorang bisa mengidentifikasi orientasi seksualnya dan bisa melela kepada keluarganya. Selain itu, perlu ada peringatan tentang rentang usia target audiens, contohnya film untuk 18 tahun ke atas, dan seterusnya.

Bagaimana PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) Kominfo tentang media di ranah privat bisa mempengaruhi distribusi film bertema LGBTIQ+?

Tuani: Regulasi perlu pelibatan masyarakat (komunitas dan organisasi) agar regulasi itu tidak multitafsir dan tidak jadi pasal karet. Contohnya UU ITE yang sekarang sering digunakan untuk menjerat hal (pidana) lain. Ini ditambah dengan aparat penegak hukum yang masih subjektif dalam menilai kelompok minoritas. Masyarakat berhak berdiskusi dan bertindak agar regulasi ini agar tidak memberatkan, perlu mengedukasi masyarakat terkait kelompok minoritas yang dikriminalisasi agar hak kelompok tersebut tidak terbungkam. Seharusnya Kominfo memperhatikan apakah isi regulasinya PSE justru merebut kebebasan berekspresi seseorang atau tidak. 

Ridho: PSE ini membuktikan bahwa Kominfo terlalu ikut campur dalam ranah privat, sehingga membatasi ekspresi orang muda.

Eman: Terlepas dari PSE yang akan diberlakukan, sudah banyak kasus yang berdampak pada komunitas LGBTIQ+ yang dikaitkan dengan pelanggaran UU. Itu biasanya didapat dari konten kawan-kawan LGBTIQ+ di jaringan sosmed mereka. Ini tentang bagaimana memetakan penggunaan media untuk berkampanye. Kedepannya, saya harap kawan-kawan lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial karena potensi pencekalan atau blokir selalu muncul. Pilih ruang, platform mana yang akan digunakan untuk kampanye, pilih kontennya juga. Kita sebagai individu perlu menciptakan ruang yang aman bagi keberagaman, tapi juga perlu dilihat keamanan kita. Kadang kita kurang jeli melihat syarat dan ketentuan. Itu harus diperhatikan saat menggunakan platform.

Ada pertanyaan dari peserta soal representasi positif LGBTIQ+ yang sudah banyak muncul di media dan itu juga membuat visibilitas komunitas queer menjadi lebih positif. Tapi di satu sisi, visibilitas ini bisa membahayakan kawan-kawan queer karena muncul kontra dari pihak lain. Bagaimana menyeimbangkan efek dua sisi pedang ini agar tetap tercipta rasa aman?

Ridho: Menurut saya, sampai saat ini saya berusaha untuk membangun diskusi dengan semua kalangan, baik dari tingkat pemerintah, organisasi masyarakat, dan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan edukasi yang lebih memanusiakan. Sehingga yang tercipta dalam jaringan atau sosial kemanusiaan di Kupang, NTT, termasuk semua kalangan, itu dilihat dari sisi kemanusiaan komunitas LGBTIQ. Tidak serta merta hanya melihat dari satu sisi.

Eman: Sudah mulai banyak bermunculan media yang ramah terhadap isu LGBTIQ. Tapi, kita masih tetap melakukan kampanye secara terbatas karena ada pro dan kontra yang besar di masyarakat. Makanya, penting untuk memetakan platform yang bisa digunakan untuk kerjasama (dan kampanye). Strategi yang bisa dibangun adalah seperti yang dilakukan In-Docs, Arus Pelangi, dan Jakarta Feminist di festival ini, membatasi siapa saja yang masuk menonton dan bergabung. Ini strategi agar kampanye tetap berjalan tetapi di lain sisi lain, komunitas juga terjaga keamanannya. Itu adalah hal yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan dalam menggandeng media.

Tuani: Sepakat dengan Kak Eman dan Kak Ridho. Banyaknya kampanye itu tidak akan terlepas dari pro-kontra dan dampaknya. Penting untuk memperhatikan narasumber dalam film itu, perhatikan keamanan dan keselamatannya. Kita tidak bisa menjamin respon sekitar soal kampanye isu LGBTIQ+ yang dilakukan, selalu ada potensi ancaman. Krn sdh banyak masyarakat maupun media yang meluruskan informasi itu. Ketika kawan-kawan mengalami kriminalisasi, melaporkan ke pihak yang berwajib. Sekarang, banyak komunitas LGBTIQ+ yang bisa digandeng sebagai mitra atau kawan mencari bantuan, seperti LBH Apik.

Pertanyaan lain dari peserta, tidak ada kaitan dengan media tapi relevan, bagaimana menerima diri kita sendiri sebagai bagian dari LGBT tetapi belum melela (coming out) kepada keluarga karena masih bergantung secara finansial? 

Eman: Hal yang sulit dan jadi salah satu ketakutan terbesar adalah bagaimana coming out kepada keluarga. Yang terpenting adalah menerima diri dulu, mengakui identitas diri sebagai bagian dari LGBTIQ+. Tidak masalah jika saat ini kamu masih bergantung secara finansial kepada keluarga, ketika sudah punya kemampuan finansial yang lebih baik, lalu kamu akan hidup mandiri, bertemu komunitas LGBTIQ+, berorganisasi, hal-hal itu juga merupakan strategi. Menjadi diri sendiri tidak harus coming out. Bentuk berbakti kepada orang tua juga berbeda-beda. Jangan memaksakan diri untuk selalu bersama mereka dan mengorbankan ekspresi diri. Kenali karakter kedua orang tua dan cari strategi untuk tetap menjalin komunikasi dengan mereka, walaupun kamu hidup terpisah dengan mereka dan memiliki ekspresi gendermu sendiri. 

Tuani: Pertanyaan yang mudah dan sulit untuk dijawab. Setiap orang punya pengalaman masing-masing terkait coming out kepada keluarga. Sepakat dengan Kak Eman, ketika bagian dari komunitas, kita harus menerima diri kita sendiri. Coming out (pada keluarga) bukan satu keharusan. Ketika tidak siap, coba cari orang yang bisa dipercaya untuk bercerita, seperti konselor. Kenali dan pahami juga cara pandang orang tua. Kita tidak bisa menyalahkan mereka yang punya perbedaan pendapat dengan kita soal mungkin tidak LGBTIQ+, tapi jangan biarkan sampai ada respon dengan kekerasan karena sudah masuk ranah pidana. Bicara soal hukum, ketika sudah berumur 18 tahun itu artinya seseorang sudah legal untuk memilih kewarganegaraan, keyakinan, agama, pendidikan, pekerjaan, sesuai UUD. Kita berhak bebas atas diskriminasi dari lingkungan sekitar. 

Ridho: Menyangkut orang tua adalah sesuatu yang sensitif tapi kita tidak bisa memaksakan pola pikir. Tapi yang sering aku tekankan pada komunitas adalah berdamai dengan diri dulu, coming in. Fokus dengan diri dan masa depan. Bagiku, baik buruk itu relatif. Kita berhak untuk bahagia, menentukan diri kita, kita berhak menentukan pilihan. 

Pertanyaan terakhir hampir sama seperti sebelumnya, bagaimana sebagai kreator dan penulis, tetap bisa mempublikasikan karya ketika belum melela kepada keluarga? 

Ridho: Bagiku itu menjadi suatu kesempatan, bagian dari strategi, secara tidak langsung. Buku (atau karya) yang kamu terbitkan itu bisa menjadi identitasmu, kamu bisa menulis tentang orientasi seksualmu di situ. Ini juga bisa membuka pemahaman dan pengetahuan bagi para pembaca.

Eman: Benar yang disampaikan Ridho. Bisa juga sebagai penulis memakai nama pena kalau merasa belum siap (mengungkap identitas). Tidak ada larangan untuk mengungkap identitas diri, termasuk di medium lain: cerita, video, film. Buku atau tulisan itu merepresentasikan “ini adalah diri saya”.

Tuani: Betul, ini tentang bagaimana kita menciptakan ruang aman bagi diri kita. Buku termasuk platform itu. Semua orang harus bangga dengan identitasnya. Berbeda bukan berarti tindakan melawan hukum. Mari mencintai diri dan keberagaman yang ada.

Leave a comment