RILIS MEDIA: UNIVERSAL PERIODIC REVIEW (UPR) PUTARAN KE-4: URGENSI LEGISLASI ANTI-DISKRIMINASI BAGI KELOMPOK RENTAN DI INDONESIA
Jakarta, 23 September 2022, Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi kembali menyelenggarakan pertemuan nasional terkait perhelatan proses Universal Periodic Review (UPR). UPR adalah salah satu mekanisme Internasional, dimana Pemerintah Indonesia ditinjau situasi Hak Asasi Manusianya oleh negara-negara anggota PBB. Rangkaian pertemuan tiga hari ini bertujuan untuk mobilisasi dukungan advokasi UPR di level nasional terhadap dua (2) laporan yang telah dikembangkan oleh koalisi pada 2-4 Maret 2022 dan telah dikirimkan ke The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Sidang peninjauan akan dilaksanakan pada 9 November 2022 mendatang di Dewan HAM PBB, sidang ini merupakan sidang putaran ke-4 sejak UPR dibentuk pada 2008.
Sebanyak 45 organisasi kelompok rentan dari beragam isu seperti Orang Dengan HIV, Disabilitas, Pekerja Seks, Buruh, Perempuan, Korban NAPZA, Minoritas Agama/Keyakinan, Masyarakat Adat, Orang Muda, dan Minoritas Seksual dan Gender (LGBTIQ+) tergabung dalam Koalisi serta terlibat dalam pertemuan ini.
“Kegiatan ini adalah tindak lanjut dari pertemuan koalisi yang telah kami selenggarakan pada Maret lalu. Pada pertemuan kali ini, koalisi fokus untuk memobilisasi dukungan dari multi-stakeholder untuk memperkuat rekomendasi UPR yang telah kami submit, serta merespon laporan UPR Pemerintah Indonesia. Dalam proses ini, kami melakukan serangkaian kegiatan, diantaranya 22 September lalu, kami melakukan diskusi bersama beberapa perwakilan kedutaan ada di Jakarta. Selain itu, kami juga melakukan diskusi dengan beberapa Lembaga PBB di Asia-Pasific,”
ucap Hartini dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Proses UPR putaran ke-4 ini menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk memperkuat komitmennya dalam upaya perlindungan yang komprehensif bagi kelompok rentan dari diskriminasi. Hal ini berangkat dari studi yang dilakukan oleh Crisis Response Mechanism (CRM)1 dan PSHK2 menemukan 63 kebijakan yang memuat diksi diskriminasi, namun belum secara eksplisit melindungi beberapa kelompok rentan. Ini menjadi salah satu faktor utama tingginya kasus diskriminasi terhadap kelompok rentan tersebut.
“Kami kelompok rentan di Indonesia masih harus dihadapkan dengan berbagai tindakan diskriminasi. Misalnya, pada laporan LBHM 2016-2019, ditemukan setidaknya 644 individu mengalami diskriminasi karena status HIV-nya. Terlebih lagi, kelompok pengguna napza harus menghadapi kebijakan narkotika yang begitu punitif, terlihat dari hukuman pemenjaraan yang panjang dan hukuman mati.” Lanjut Kustantonio dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Rumah Cemara.
“Terkait isu disabilitas, berbagai regulasi yang ada di Indonesia belum sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai CRPD (Convention of the Rights of Person with Disabilities) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, hal ini menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas masih tinggi,”
lanjut Rosid dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Deaf Queer Community.
“Terkait kelompok minoritas seksual dan gender atau LGBTIQ+ ditemukan sebanyak 973 individu LGBTIQ+ mengalami diskriminasi (data LBHM 2018) juga sebanyak 143 kasus kekerasan telah terjadi hanya dalam rentan 2021 hingga Agustus 2022 (Data CRM).” Lanjut Rafael Da Costa dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili GAYa NUSANTARA.
“Selain itu, berdasarkan laporan CNBN Indonesia, sepanjang 2022 kurang lebih 8.000 kasus perampasan tanah yang berdampak signifikan bagi perempuan dan masyarakat adat.” Lanjut Sana Ullaili dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta.
Adapun rekomendasi utama yang didorong oleh Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi pada laporan UPR kali ini adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk menyusun legislasi nasional anti diskriminasi secara komprehensif yang secara jelas memuat perlindungan hukum, pemenuhan kebutuhan khusus, pemulihan, dan promosi setiap kelompok rentan, khususnya kelompok rentan yang belum tertuang dalam berbagai payung hukum terkait Hak Asasi Manusia dan Anti-Diskriminasi.
“Kami mendorong negara-negara anggota PBB untuk menyampaikan rekomendasi tersebut di atas kepada Pemerintah Indonesia dalam sesi sidang UPR 9 November 2022 mendatang. Karena legislasi tersebut akan menjawab kekosongan hukum jaminan perlindungan kelompok rentan dan permasalahan diskriminasi yang terjadi. Selain itu, kami juga mendorong adanya rekomendasi terkait: Penghapusan segala kebijakan diskriminatif bagi kelompok rentan, Pendidikan komprehensif Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, Garansi atas keberlanjutan akses ARV yang inklusif bagi Orang Dengan HIV, meratifikasi dan mengadopsi konvensi ILO No.190 dan rekomendasi No.206 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, yang juga mengatur diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender di tempat kerja”.Ucap Jihan Faatihah dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Perempuan Mahardhika.
Dalam memperkuat rekomendasi ini, Koalisi juga membacakan Deklarasi Kelompok Rentan yang telah diproduksi pada Desember 2021 di Yogyakarta yang secara spesifik mendesak pemerintah untuk menyusun legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif di Indonesia.
Tentang Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi:
Koalisi ini terbentuk pertemuan nasional pertama kelompok rentan pada Desember 2021 di Yogyakarta. Koalisi ini diinisiasi oleh Crisis Response Mechanism (CRM) bersama 45 organisasi kelompok rentan yaitu: Arus Pelangi, Sanggar Swara, Gaya Warna Lentera (GWL-INA), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Tarena Aceh, Cangkang Queer-Medan, Srikandi Pasundan, Komunitas Sehati Makassar, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Jaringan Transgender Indonesia, Transmen Indonesia, GAYa NUSANTARA, Kebaya Yogyakarta, Yayasan Akbar-Sumatera Barat, Kolektif Interseks, Jaringan Indonesia Positif (JIP), Yayasan Kesehatan Perempuan, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Lentera Anak Pelangi, Jemaah Muslim Ahmadiyah Indonesia (JAI), Gusdurian, Sunda Wiwitan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA), Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Perhimpunan Jiwa Sehat, Deaf Queer Community, Cis-Timor, Aliansi Mahasiswa Papua, Yifos Indonesia, Inti Muda, Jakarta Feminist, Solidaritas Perempuan, Kalyanamitra, LBH APIK Jakarta, Perempuan Mahardhika, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI), Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), ASEAN SOGIE Caucus (ASC), dan Free To Be Me.
Kontak:
– Riska Carolina | Crisis Response Mechanism (CRM) | +62813-3009-0410
– Purwanti | Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) | +62813-2941-2360
– Hartini | Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) | +62878- 9162-5004
– Tamara Lois | Sanggar Swara | +62812-9325-0204