Skip to content Skip to footer

Rilis Pers: Sebanyak 289 perempuan dibunuh di Indonesia pada tahun 2021: laporan femisida Lintas Feminis Jakarta

Rilis Pers: Sebanyak 289 perempuan dibunuh di Indonesia pada tahun 2021: laporan femisida Lintas Feminis Jakarta

JAKARTA, Selasa, 6 Desember 2020 – Laporan analisa pemberitaan online dari Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menemukan bahwa terjadi sebanyak 256 kasus pembunuhan perempuan di Indonesia pada tahun 2021, dengan total korban 289 jiwa perempuan dan total pelaku 309 orang.

Di antaranya, ditemukan 217 kasus femisida, 17 kasus pembunuhan akibat tindak kriminal, 4 kasus pembunuhan transpuan, dan 18 kasus pembunuhan bayi, balita, dan anak perempuan. Sebesar 49 persen dari total kasus dilakukan di area rumah, dan 37 persen dari korban yang dapat diidentifikasikan memiliki hubungan intim dengan pelaku.

Femisida adalah pembunuhan perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk transpuan. Kasus femisida termasuk baik yang terjadi dalam ranah personal, seperti hubungan keluarga dan intim/romantis, maupun ranah publik, seperti di tempat kerja. Femisida memiliki dimensi yang berbeda dengan pembunuhan ‘biasa’, karena memiliki unsur kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) serta penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara masif.

Kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dengan masing-masing 35 kasus. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat ketiga (29 kasus), sementara Provinsi Sulawesi Utara (19 kasus) dan Provinsi Aceh (16 kasus) duduk di peringkat ke-empat dan ke-lima.

“Hal unik terjadi ketika kami mengkalkulasikan kontribusi kasus pembunuhan perempuan di suatu daerah dengan tingkat kerentanan per 100.000 perempuan di daerah tersebut,” ujar Fatima Gita Elhasni, Research Officer Jakarta Feminist. “Tingkat kerentanan perempuan menjadi lebih tinggi di daerah-daerah yang jumlah kasusnya lebih rendah, seperti Sulawesi Utara dan Aceh dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.” Dalam kata lain, perempuan lebih rentan atas pembunuhan di wilayah-wilayah tersebut. “Ini bisa kita tanyakan kembali, apakah ada konteks lokal di dimensi sosial-kultural pada daerah tersebut yang mempengaruhi perbedaan angka ini?”

Fatima Gita Elhasni, Research Officer Jakarta Feminist

Berdasarkan analisa pemberitaan kasus, ‘motif’ pelaku femisida yang paling sering ditemukan adalah masalah komunikasi antara pelaku dan korban (75 kasus), diikuti problem asmara (36 kasus), penyerangan seksual (22 kasus), dan kehamilan (18 kasus). Permasalahan komunikasi ini kebanyakan terjadi pada relasi-relasi intim, khususnya di ranah rumah tangga.

Sejalan dengan itu, Siti Mazuma selaku Direktur LBH Apik Jakarta mencatat, LBH Apik Jakarta sudah melakukan pendampingan pada 1.512 korban kekerasan terhadap perempuan di tahun 2022. “Kami menemukan bahwa KDRT memang menjadi motif kekerasan terbanyak,” ungkapnya. 

Melihat femisida ini dari perspektif transpuan, Khanza Vinaa dari Sanggar Swara menyayangkan sedikitnya pemberitaan media untuk kasus pembunuhan perempuan transgender. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena letak geografis peristiwanya hingga adanya anggapan bahwa peristiwa tersebut tidak penting. “Kerap kali bahkan ada anggapan bahwa kelompok trans pantas dibunuh karena dianggap menyimpang,” Khanza tekankan. 

“Ketika para korban ini meninggal, kita berpikir bahwa haknya sudah selesai,” jelas Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan. “Padahal, mereka juga masih memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan baik untuk korban maupun keluarga dan relasi yang ditinggalkan.”

Laporan femisida tahun 2021 dapat diunduh di sini atau melalui www.jakartafeminist.com/publikasi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Lintas Feminis Jakarta melalui info@jakartafeminist.com atau melalui WA di 0821 1404 4282.

LAMPIRAN 1. REKOMENDASI LAPORAN

Berdasarkan temuan laporan ini, Lintas Feminis Jakarta ingin mengajukan rekomendasi sebagai berikut agar femisida dapat dicegah serta kasus femisida dapat ditangani dengan layak.

Rekomendasi bagi pemerintah Republik Indonesia:

  1. Penyusunan, pelaksanaan, dan pemantauan strategi jangka menengah dan panjang terkait pencegahan KBGS di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah;
  2. Pencabutan atau revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan;
  3. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif serta pendidikan hubungan sehat (healthy relationships) dilaksanakan di semua tingkat sekolah di seluruh Indonesia, disesuaikan dengan tingkat usia dan gender;
  4. Ketersediaan hotline telepon bagi korban KBGS yang responsif, berpihak kepada korban, dan memiliki SDM yang terlatih dan mencukupi;
  5. Penguatan tata kelola layanan bantuan bagi korban KBGS, baik dari aspek peraturan maupun dari aspek kapasitas;
  6. Pelatihan dan pendidikan gender dan HAM bagi petugas layanan yang berkaitan dengan korban KBGS, termasuk di bidang kesehatan;
  7. Penjaminan ketersediaan akses layanan bagi korban KBGS di seluruh Indonesia, serta peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga layanan tersebut, serta pendanaan lembaga layanan yang terjamin dan mencukupi;
  8. Pemantauan penanganan kasus KBGS secara berkala.

Rekomendasi bagi institusi penegak hukum:

  1. Pemberian pendidikan dan pelatihan gender, hak asasi manusia, dan KBGS bagi aparat penegak hukum, termasuk petugas polisi, jaksa, dan hakim, sesuai dengan kewajiban yang telah disahkan melalui UU TPKS 2022;
  2. Penyusunan atau revisi serta pelaksanaan panduan/SOP/alur layanan penerimaan pelaporan kasus KBGS;
  3. Penyusunan alur rujukan bagi korban KBGS yang melibatkan pihak rumah aman, lembaga bantuan hukum, layanan medis, layanan konseling, dan layanan lain;
  4. Ketersediaan kanal pelaporan KBGS yang responsif dan berpihak kepada korban;
  5. Pengolahan data kasus pembunuhan berdasarkan gender korban.

Rekomendasi bagi outlet media, Dewan Pers, dan Aliansi Jurnalis Independen:

  1. Penyusunan atau revisi serta pelaksanaan panduan/SOP terkait penulisan kasus KBGS secara umum dan kasus femisida secara khusus, yang memastikan wartawan dan redaksi tidak menyalahkan korban, tidak objektifikasikan korban, dan tidak melanggar privasi korban dan keluarga, termasuk tidak menggunakan nama dan foto korban kecuali sudah diizinkan oleh keluarga;
  2. Pemberian pendidikan dan pelatihan gender, HAM, dan KBGS kepada jurnalis dan redaksi;
  3. Pencatatan informasi bantuan bagi korban di ujung tiap pemberitaan kasus KBGS, seperti Cari Layanan (www.carilayanan.com);
  4. Penulisan berita yang berlensa gender agar menempatkan kasus KBGS dalam konteks lebih besar, bukan hanya sebagai sebuah kasus begitu saja, yaitu permasalahan struktural dan pola pembunuhan perempuan yang telah mengakar dalam budaya dan masyarakat.

1 Comment

  • Adrienne
    Posted December 22, 2022 at 11:52 AM

    Appreciating the hard work you put into your website and detailed informаtіon you pгovide.
    It’s nice to come across a blog every once in a while that isn’t the same out
    of date гehashed material. Excellent гead! I’ve saved your site and I’m
    adding your RSS feeds to my Google account.

Leave a comment