Skip to content Skip to footer

Press Rilis – Laporan Femisida: Lebih dari Sekedar Angka

Femisida adalah pembunuhan dengan korban perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan dan transpuan. Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist) telah melakukan monitoring kasus-kasus femisida sejak 2016 sebagai bentuk komitmen mengadvokasikan keadilan gender di Indonesia. Tahun ini, laporan femisida diluncurkan dengan judul “Laporan Femisida 2023: Lebih dari Sekedar Angka”, pada 10 Desember 2023 di Yogyakarta.

“Di laporan ketiga ini, kami menelusuri 184 kasus dari 38 provinsi di Indonesia, di mana terdapat 194 korban dan 208 pelaku. Seperti kasus-kasus di tahun sebelumnya, mayoritas pelaku masih berjenis kelamin laki-laki, kali ini sebesar 88%.” ujar Anindya Restuviani, Program Director Jakarta Feminist.

Lebih rinci, ia menuturkan dari kasus yang mereka telusuri, ada kasus dengan korban transpuan dan anak perempuan. 

“Dari 184 kasus, ada lima kasus pembunuhan terhadap transpuan dan lima kasus pembunuhan yang korbannya anak perempuan. Kami mengkategorikan anak yakni korban berusia di bawah 18 tahun.” ucap Anindya Restuviani, Program Director Jakarta Feminist.

Khanza Vina dari Sanggar Swara menyoroti pentingnya juga menghitung pembunuhan transpuan sebagai bagian dari femisida. Menurutnya, masuknya pembunuhan transpuan ke femisida adalah bentuk pengakuan kekerasan sistemik terhadap transpuan.

“Menghitung pembunuhan transpuan sebagai femisida merupakan langkah kecil untuk menegaskan kekerasan sistemik yang terjadi kepada transpuan pada tingkat yang melewati batas. Hal ini jelas karena kebencian masyarakat terhadap transpuan yang masih mengakar. Celakanya, upaya mendokumentasikan pembunuhan transpuan punya kendala. Dalam banyak kasus, seringkali korban transpuan tidak diidentifikasi sebagai transgender.”  jelas Khanza Vina

Di sisi lain, Khanza Vina juga menekankan peran teman-teman pekerja media dalam memberitakan kasus femisida. Baginya, penting untuk menelusuri lebih lanjut kasus femisida, termasuk tentang motif melakukan pelaku melakukan pembunuhan terhadap transpuan.

“Alasan yang dimuat pelaku ketika membunuh adalah dipaksa melakukan hubungan seksual. Ini alasan yang dipakai terus oleh beberapa pelaku. Kami menyayangkan pihak penyidik dan 

teman-teman media yang memproses pernyataan tersebut secara langsung. Korban lagi yang kemudian disalahkan. Dan, celakanya pernyataan atas motif tersebut menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap transpuan.” tambah Khanza Vina.

Hal senada juga disampaikan oleh Anindya Restuviani. Dalam pernyataanya Ia menyebutkan butuh kerja sama dengan pekerja media untuk melawan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam kasus femisida.

“Kami masih menemukan artikel berita yang narasinya masih memojokan korban atau mengobjektifikasi korban. Ada juga yang masih memuat data-data pribadi korban di artikel. Selain itu, bahasa yang digunakan juga cenderung hiperbolis. Jadi terkesan bombastis. Padahal, yang kami harapkan, media dapat menjembatani pemahaman masyarakat terkait masalah femisida yang sebenarnya. Kami juga ingin melihat bagaimana proses investigasi atas kasus yang mereka beritakan. Apakah ada tindak lanjut? Sehingga kita bisa memantau proses keadilannya.” kata Anindya Restuviani.

Adapun cara pembunuhan yang terjadi dalam femisida, mayoritas menggunakan senjata tajam, beberapa menggunakan tenaga fisik, dan sisanya melakukan kekerasan lewat benda sekitar. Dari kasus-kasus ini 80% dinyatakan telah tertangkap.

“Para pelaku umumnya dijerat dengan pasal-pasal seputar pembunuhan, baik berencana dan tidak berencana. Untuk kasus-kasus tertentu, pihak kepolisian memakai undang-undang spesifik seperti UU KDRT dan UU Perlindungan Anak.” tutur Nana dari LBH Yogyakarta.

Secara khusus, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menekankan bahwa femisida merupakan eskalasi dan bentuk paling ekstrim kekerasan terhadap perempuan. Ia juga menegaskan sebagian besar kasus femisida terjadi pada relasi intim.

“Pada kasus femisida intim yang dilakukan suami, pacar, mantan pacar atau mantan suami mayoritas terjadi karena pelaku tersinggung atas maskulinitasnya dan cemburu. Tingginya angka femisida intim harus dibaca bahwa setiap kasus kekerasan terhadap istri atau pacar adalah potensi femisida, siklus kekerasan mungkin akan berakhir dengan kematian.” tutup Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.

Atas temuan femisida ini, Jakarta Feminist merumuskan 8 rekomendasi yang ditujukan ke pemerintah dan pihak terkait, di antaranya:

  1. Penyusunan, pelaksanaan, dan pemantauan strategi jangka menengah dan panjang terkait pencegahan kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah;
  2. Pencabutan atau revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan;
  3. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif serta pendidikan hubungan sehat dilaksanakan di semua tingkat sekolah di seluruh Indonesia, disesuaikan dengan tingkat usia dan gender;
  4. Ketersediaan hotline telepon bagi korban KBGS yang responsif,berpihak kepada korban, dan memiliki SDM yang terlatih dan mencukupi;
  5. Penguatan tata kelola layanan bantuan bagi korban KBGS, baik dari aspek peraturan maupun dari aspek kapasitas;
  6. Pelatihan dan pendidikan gender dan HAM bagi petugas layanan yang berkaitan dengan korban KBGS, termasuk di bidang kesehatan;
  7. Penjaminan ketersediaan akses layanan bagi korban KBGS di seluruh Indonesia, serta peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga layanan tersebut, serta pendanaan lembaga layanan yang terjamin dan mencukupi:
  8. Pemantauan penanganan kasus KBGS secara berkala.

Perkumpulan Lintas Jakarta Feminist (Jakarta Feminist) komunitas feminis berbasis di Jabodetabek yang bertujuan mempromosikan nilai-nilai feminis agar mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Jakarta Feminist merupakan inisiator Women’s March Jakarta, pengurus Feminist Fest, dan pencipta Cari Layanan, sebuah direktori untuk korban-penyintas kekerasan berbasis gender.

Khofifah

Program Officer Panggung Perempuan Merdeka 2023

khofi@jakartafeminist.com

Leave a comment