Skip to content Skip to footer

Rilis Pers – Indonesia Femicide Watch: Remisi Ronald Tannur dan Luputnya Perspektif Korban dalam Putusan Kasasi: Ketidakpekaan Negara terhadap Keadilan Korban Femisida

Jakarta, 28 Agustus 2025

Indonesia Femicide Watch (IFW) mengecam pemberian remisi kepada Ronald Tanur pelaku femisida terhadap DSA. Sebelumnya, kasus femisida dalam relasi intim ini mencuat dan menjadi sorotan pemberitaan nasional. Rekaman video yang diambil oleh terdakwa viral di media sosial. Di dalam video, terdakwa tertawa melihat kondisi korban yang tak berdaya tergeletak di parkiran basement seusai diseret dan dilindas dengan mobil yang terdakwa kendarai. Terdakwa, Ronald Tannur, merupakan anak dari Edward Tannur, anggota DPR RI. Terdakwa kemudian didakwa dengan Pasal Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan Penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 Ayat (3) KUHP) serta dituntut untuk membayar restitusi senilai Rp.263.673.000, – (dua ratus enam puluh tiga juta enam ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah) yang dibayarkan kepada Ibu Korban sebagai ahli warisnya.

Awalnya, terdakwa divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Surabaya dengan alasan dakwaan yang diajukan tidak terbukti. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) kemudian menganulir vonis bebas dan memutus pidana 5 tahun penjara atas penganiayaan yang menyebabkan kematian. Sayangnya, restitusi yang turut diajukan oleh keluarga korban tidak dikabulkan oleh Hakim di tingkat kasasi. Di saat yang bersamaan, vonis bebas pada tingkat pertama terbukti dihasilkan dari suap yang dilakukan Meirizka Widjaja, Ibu Ronald Tannur melalui Lisa Rahmat (LR), pengacara Ronald Tannur kepada ketiga hakim PN Surabaya. Adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, majelis hakim yang terbukti menerima suap sebesar 4.7 Miliar. Ketiganya pun diadili di Pengadilan Tipikor dan diputus pidana. Semua proses hukum ini menunjukkan besarnya kekuasaan yang dimiliki Ronald Tannur dan keluarganya untuk mempengaruhi proses peradilan pidana sehingga mencederai pemenuhan keadilan bagi korban dan pemulihan bagi keluarganya.

Tidak sampai di situ, keadilan yang keluarga korban perjuangkan kembali menemukan tantangan. Pemantauan IFW mencatat Ronald Tannur baru menjalani hukuman penjara selama 9 bulan di Lapas Salemba mendapat dua jenis remisi, yakni remisi umum 1 bulan dan remisi dasawarsa 3 bulan. Artinya, total masa pidananya berkurang 4 bulan. Remisi memang merupakan hak terpidana yang bertujuan untuk memberikan kesempatan dan memotivasi narapidana untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, pemberian remisi tanpa transparansi dan asesmen atas program pembinaan yang relevan bagi pelaku femisida yang berkelindan dengan korupsi seperti Ronald Tannur nampaknya tidak tepat. Terlebih remisi diberikan di tengah trauma keluarga korban pasca menjalani proses hukum yang koruptif dan penuh ketidakadilan di tingkat PN

“Kami memahami remisi adalah hak warga binaan. Namun, setelah melihat proses hukum yang penuh dengan ketidakadilan dan keluarga juga masih mengalami trauma akibat hal tersebut, rasanya tidak tepat remisi diberikan kepada Ronald Tannur. Apalagi sudah terbukti yang bersangkutan dan keluarganya telah melakukan suap kepada aparat penegak hukum di tingkat Pengadilan Negeri. Kemenkumham dalam hal ini patut menjelaskan alasannya lebih detil juga tentang bagaimana program pembinaan Ronald Tannur selama di Lapas. Kami percaya masih banyak warga binaan lain yang lebih berhak mendapatkan remisi. Di luar itu, belum ada juga upaya pemulihan bagi keluarga korban yang mengalami kerugian akibat kejadian mengenaskan ini.” Astried Permata (Jakarta Feminist) 

Alih-alih sibuk memberikan remisi tanpa pertimbangan yang jelas, sudah sepatutnya aparat penegak hukum berfokus pada pemulihan keluarga korban, termasuk lewat mekanisme restitusi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, meski MA telah mengubah vonis Ronald Tannur menjadi 5 tahun dan memproses Majelis Hakim yang korup, namun restitusi yang diajukan keluarga korban tidak dikabulkan. Dengan demikian, Majelis Hakim di tingkat kasasi telah mengabaikan ketentuan terhadap perlindungan korban dalam pertimbangan hukumnya terkait restitusi. Pasal 7A ayat (6) UU No. 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa jika korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban. Aturan ini juga didukung oleh Pasal 2 ayat (1) huruf a Perma No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada korban Tindak Pidana. Secara jelas disebutkan bahwa permohonan restitusi juga berlaku untuk tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK. Dalam kasus yang menimpa korban femisida DSA, LPSK telah menetapkan keputusan pemberian restitusi bagi korban dan keluarga korban sehingga seharusnya pada tingkat kasasi restitusi tidak ditolak karena dianggap tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

“ Kami mengapresiasi penganuliran vonis bebas Ronald Tannur oleh Mahkamah Agung, serta langkah untuk menindak majelis hakim yang terbukti korup di kasus tersebut. Tapi kami juga menyayangkan tidak dikabulkannya restitusi yang diajukan keluarga korban berdasarkan surat keputusan LPSK. Padahal dalam kasus korban meninggal dunia seperti pada kasus DSA, Pasal 7A ayat (6) UU Perlindungan Saksi dan Korban menjamin restitusi diberikan kepada keluarga korban. Eskalasi kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan kematian seharusnya menjadi perhatian serius APH mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan dan eksekusi putusan. Selain pemidanaan terhadap pelaku, memastikan proses peradilan yang akuntabel dan pemulihan bagi keluarga korban sangat krusial sebagai prioritas utama.” Marsha Maharani (IJRS) 

Padahal, restitusi jadi salah satu indikator keadilan dalam menyoal kasus hukum dengan menggunakan kacamata gender. Restitusi hadir sebagai realisasi proses hukum yang lebih holistik dan tidak hanya berpusat pada penghukuman semata. Tujuannya adalah memulihkan hak korban kejahatan baik dari segi materil dan imateril. Restitusi bagi korban dalam kasus femisida tidak hanya merujuk korban langsung, melainkan korban tidak langsung seperti anak dan anggota keluarga korban yang ditinggalkan.

Integritas dan Edukasi Publik

Kasus femisida yang dialami DSA jelas meninggalkan luka mendalam bagi keluarga. Celakanya, intrik suap-menyuap dibalik proses hukum pelaku Ronald Tannur untuk kesekian kali membuat publik mempertanyakan keadilan bagi perempuan di mata hukum. Memproses kasus Ronald Tannur dengan serius dan adil bagi korban merupakan bagian dari tanggung jawab Aparat Penegak Hukum (APH) ke publik. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk komitmen menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi integritas. Di satu sisi, keseriusan APH memproses kasus femisida secara adil adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya edukasi masyarakat tentang #AkhiriFemisida.

Akhirnya, pemberian remisi serta tidak dipenuhinya hak korban/keluarga korban femisida menunjukkan lemahnya kebijakan untuk merespons kasus femisida di Indonesia. Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang secara khusus disusun untuk mencegah dan menangani femisida. Selain itu, pemerintah dan penegak hukum belum melakukan pendataan kasus kasus kematian perempuan yang memiliki indikator femisida.

Tuntutan

Untuk itu Indonesia Femicide Watch menuntut::

  1. Dirjen PAS Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk:
    • Menjelaskan kepada publik alasan pemberian remisi dan program pembinaan bagi warga binaan tindak pidana kekerasan berbasis gender, khususnya femisida seperti dalam kasus Ronald Tannur;
    • Mengevaluasi pertimbangan dalam pemberian remisi, khususnya di mana mafia peradilan (judicial corruption) terjadi sepanjang penanganan kasusnya;
    • Memprioritaskan remisi kepada warga binaan perempuan yang memiliki anak dan/atau tanggungan anggota keluarga, khususnya disabilitas atau lansia
  2. MA, Kejaksaan, dan Kepolisian bekerjasama dengan LPSK untuk meningkatkan kapasitas hakim, jaksa dan polisi terkait hak-hak korban dan keluarga korban/ahli waris dalam penerapan restitusi pada kasus-kasus femisida;
  3. Kementerian PPPA, Polri dan BPS membangun indikator kasus-kasus yang dikategorikan sebagai femisida untuk digunakan dalam data administratif kepolisian dan lembaga layanan korban;
  4. Kementerian PPPA dan Komnas Perempuan untuk mengarusutamakan dan menjadikan isu femisida sebagai kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) dalam mendata, memantau, dan memberikan rekomendasi laporan kekerasan terhadap perempuan;
  5. MA merevisi Perma No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada korban Tindak Pidana untuk:
    • Menyesuaikan dengan UU No. 12/2022 tentang TPKS dan
    • Merevisi Pasal 2 ayat (1) huruf a sehingga berbunyi: “Permohonan restitusi berlaku terhadap perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak dan Perempuan, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK.”
  6. Komisi 3 DPR RI c.q Panja RUU KUHAP mengatur:
    • Jaminan hak keluarga korban tindak pidana dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas;b. Pencantuman Keluarga Korban/Ahli Waris dalam ketentuan Restitusi (Pasal 172-176) dan Dana Abadi untuk Pembayaran Restitusi (Pasal 176) Draft RUU KUHAP per 11 Juli 2025.

Tentang Indonesia Femicide Watch (IFW):
IFW merupakan kolektif individu, komunitas, dan organisasi yang berfokus pada peningkatan pengetahuan dan kesadaran publik tentang femisida serta mengupayakan riset, advokasi, dan kampanye terkait kebijakan penghapusan femisida dan penanganan kasus femisida yang berpihak pada korban.

Anggota Indonesia Femicide Watch (IFW):

  1. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
  2. Jakarta Feminist
  3. Kalyanamitra
  4. Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Indonesia
  5. Study and Peace
  6. LBH APIK NTT
  7. LBH APIK Semarang
  8. LBH APIK Medan
  9. Jala PRT
  10. FSBPI
  11. Dokter Tanpa Stigma
  12. Peduli Buruh Migran
  13. Marsinah.id
  14. Project Multatuli
  15. Arus Pelangi
  16. ICJR
  17. FeminisThemis
  18. LBHM
  19. IPPI
  20. IAC
  21. HWDI
  22. Sanggar Swara
  23. Magdalene.co
  24. LBH APIK Makassar
  25. LBH APIK Jakarta
  26. IJRS
  27. Angsamerah
  28. KOMPAKS
  29. Empowherment


Narasumber:

  1. Astrid Permata – Jakarta Feminist (087888803312)
  2. Marsha – IJRS (082125008141)
  3. Ajeng – ICJR (082119053800)

Laporan Data Femisida 2024 ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan dapat diakses secara bebas.

The 2024 Femicide Data Report is written in Indonesian and English and is freely accessible.

Leave a comment