Skip to content Skip to footer

Rilis Pers – Femisida: Ruang Aman Diabaikan, Nyawa Perempuan Dikorbankan

Jakarta, 1 Juli 2025


Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan merupakan bentuk paling ekstrim dari kekerasan berbasis gender. Di 2024, Jakarta Feminist menemukan 43% kasus femisida bermula dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran (KDP)
yang tidak tertangani dengan komprehensif. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, di mana 37% perempuan dibunuh oleh pasangan intim korban.

“Dari dokumentasi yang kami lakukan, kasus femisida di Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya. Setidaknya, 209 perempuan dibunuh sepanjang 2024. Artinya, ada satu perempuan dibunuh setiap dua hari. Fakta ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, 43% di antaranya merupakan kasus kekerasan yang seharusnya dapat kita cegah sebelum berujung pada femisida.” Syifana Ayu (Peneliti Data Femisida – Jakarta Feminist)

Berkenaan dengan hal tersebut, mayoritas kasus femisida terjadi di area rumah korban, yakni sebanyak 53%. Sementara sisanya terjadi di ruang publik seperti sekolah, perkebunan, sawah, dan lain-lain. Melihat persentase ini, Jakarta Feminist menyoroti hilangnya ruang aman bagi perempuan, termasuk di tempat tinggal mereka.

“Ironinya, selama ini narasi umum mendomestifikasi perempuan, mendorong perempuan untuk selalu berada di rumah -sebagaimana yang sudah ‘dikodratkan’, ngurusin rumah, nyapu, nyuci, momong anak, dan melakukan segala pekerjaan rumah. Tapi ternyata rumah bukan jadi tempat yang aman buat perempuan. Rumah justru jadi tempat di mana perempuan meregang nyawa. Parahnya, kalau terjadi kekerasan, masih banyak di antara kita yang menganggap itu urusan privasi rumah tangga. Padahal, kalau tidak diintervensi bisa jadi femisida atau pembunuhan terhadap perempuan.”Nur Khofifah (Program Officer – Jakarta Feminist)

Hal sama juga terjadi di Cambodia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Chandy Eng dari Gender and Development for Cambodia (GADC).

“Di Cambodia, fenomenanya sama persis. Kasus femisida adalah kasus KDRT yang berujung pembunuhan. Pelakunya pun mayoritas tidak mengenal kelas. Mayoritas pelaku berasal dari kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi. Perihal femisida ini, tidak perlu tunggu ratusan perempuan mati, satu perempuan dibunuh pun seharusnya tidak boleh terjadi. Negara harus merespon dengan maksimal.”Chandy Eng – (GADC)

Selain sarat akan KDRT, kasus femisida juga dapat diiringi dengan tindak kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) lain, termasuk kekerasan seksual. Terdapat 13% kasus femisida memuat unsur kekerasan seksual, 7 kasus dengan korban transgender, dan 6 kasus melibatkan isu kehamilan tidak diinginkan (KTD). Dengan kata lain, isu femisida seperti gunung es yang memiliki lapisan kerentanan berlapis sehingga dibutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangan yang menyeluruh.

“Memang dibutuhkan sensitivitas dari aparat penegak hukum (APH) memproses kasus femisida karena isunya sangat bersinggungan dengan aspek lain. Pelaku dan korban bisa orang dewasa, lansia, atau anak. Responnya tentunya berbeda tergantung kasusnya, apalagi berkenaan dengan isu gender.”AKBP Endang Sri Lestari,SH.MSi Kanit 1 Subdit 1 Dittipid PPA PPO Bareskrim Polri

Sayangnya, hukum nasional Indonesia belum mengakui femisida sebagai sesuatu yang berbeda dari homicide. Padahal, femisida memiliki karakteristik tertentu dan kental akan isu ketidakadilan gender. Oleh karenanya, proses hukumnya juga membutuhkan sensitivitas gender. Kekosongan hukum merespon femisida juga mempengaruhi bagaimana negara selama ini mendata kasus pembunuhan. Tidak ada data khusus yang mensegregasi berdasarkan gender ataupun motif pembunuhan. Akhirnya, intervensi terhadap kasus fenomena jadi kurang tepat dan tidak menyeluruh.

Dr Erni Mustikasari, Deputi V Kemenko Polkam menerangkan kerangka hukum nasional dalam memproses kasus femisida.

“Femisida tidak diatur dalam hukum pidana nasional. Hukum pidana nasional hanya mengatur delik pembunuhan pada KUHP namun tidak mengatur delik pembunuhan khusus terhadap perempuan, meskipun ada pemberatan ancaman pidana 1/3 pada delik pembunuhan terhadap istri atau anak dalam KUHP Nasional. Sementara UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan, melainkan kekerasan mengakibatkan mati, yang berbeda dengan delik pembunuhan karena ditujukan terhadap tubuh bukan merampas nyawa. UU terkait HAM mengakui diskriminasi menurut jenis kelamin, namun delik yang diatur hanya delik berat terhadap HAM yaitu genosida dan delik kemanusiaan. Femisida mungkin bisa masuk menjadi delik kemanusiaan sepanjang unsur dilakukan secara sistimatis dan meluas terpenuhi. Ke depan tentu dibutuhkan kajian yang mendalam jika femisida hendak menjadi delik yang khusus atau pemberatan dalam delik pembunuhan”Dr Erni Mustikasari (Deputi V Kemenko Polkam)

Sementara, Komisioner Komnas Perempuan 2020 – 2025, Siti Aminah Tardi, turut menyoroti isu kekosongan hukum femisida.

“Kalau di negara lain, ada yang memiliki Undang-Undang khusus soal femisida, seperti di Costa Rica, Nicaragua, dan Venezuela. Ada juga yang dimasukkan ke dalam KUHP mereka, contohnya, Peru dan Chili. Sementara di Brazil dan Argentina, femisida jadi pemberat tindak pidana pembunuhan. Nah sekarang pertanyaan, Indonesia mau seperti apa?” – Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan 2020 – 2024)

Dalam upaya #AkhiriFemisida, Jakarta Feminist mendorong pemerintah dan semua elemen masyarakat untuk:

  1. Mengakui femisida sebagai kejahatan berbasis gender yang memiliki dimensi struktural dan sistemik.
  2. Mendorong penguatan dan dukungan bagi sistem perlindungan korban KBGS.
  3. Menyusun sistem pendataan terpadu dan terpilah gender untuk kasus-kasus KBGS dan Femisida.
  4. Mewajibkan pendidikan seksualitas yang komprehensif termasuk pendidikan anti misoginis.

Laporan Data Femisida 2024 dapat diakses dengan mengunjungi: bit.ly/femisida2024

*Jika Anda mengalami kekerasan berbasis gender dan seksual atau mengetahui seseorang yang mengalaminya, Anda dapat mencari informasi bantuan bagi korban melalui carilayanan.com

Tentang Jakarta Feminist:
Perkumpulan Lintas Jakarta Feminist (Jakarta Feminist) komunitas feminis berbasis di Jabodetabek yang bertujuan mempromosikan nilai-nilai feminis agar mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Jakarta Feminist merupakan inisiator Women’s March Jakarta, pengurus Feminist Fest, dan pencipta Cari Layanan, sebuah direktori untuk korban-penyintas kekerasan berbasis gender.

Narahubung:
Khofifah
Program Officer Jakarta Feminist
khofi@jakartafeminist.com | +6285643265147

Leave a comment