Skip to content Skip to footer

Rilis Pers – Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Butuh Kerjasama Semua Pihak

Jakarta, 21 Mei 2025

Dalam kurun waktu sebulan, berbagai kasus pemerkosaan terjadi dan menjadi sorotan banyak pihak. Pasalnya, kasus-kasus tersebut melibatkan pelaku yang memiliki peran di tatanan masyarakat, seperti tenaga kesehatan, dosen atau tenaga pendidik, hingga anggota kepolisian. Kasus-kasus ini sejatinya memperlihatkan unsur paling umum di kasus kekerasan seksual, yakni relasi kuasa. Unsur ini dapat kita lihat dengan dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap tahanan perempuan, dokter residen terhadap pasiennya, ataupun dosen terhadap mahasiswa atau staff akademik. Perbedaan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, ekonomi, dan status lain antara pelaku dan korban membuat proses hukum yang adil bagi korban menjadi semakin terjal.

Di luar itu, kasus kekerasan seksual di ruang publik bukan fenomena baru. Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) di 2021 menunjukkan sebanyak 3.307 responden mengalami kekerasan seksual di ruang publik. Dari angka tersebut, 134 responden mengaku mengalami kekerasan seksual di fasilitas kesehatan, di mana 29 di antaranya terjadi saat pemeriksaan COVID-19. Sementara itu, 484 orang mengalami kekerasan seksual di kampus ataupun sekolah, baik saat kegiatan daring maupun luring.

“Pada survei yang sama, kami menemukan 134 kasus kekerasan seksual dilakukan oleh guru atau dosen dan 44 kasus oleh tenaga kesehatan,” tambah Anindya Restuviani, Direktur Program Jakarta Feminist.

Selain keberadaan relasi kuasa, implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang jauh dari ideal membuat penanganan kasus kekerasan seksual menjadi pelik. Jakarta Feminist dan LBH Apik Jakarta menemukan beberapa faktor yang menyebabkan implementasi kebijakan UU TPKS belum maksimal. Pertama, aturan turunan UU TPKS belum benar-benar mendukung pemulihan korban.

“Meski ada kemajuan payung hukum, namun aturan turunan UU TPKS masih belum benar-benar dapat mendukung pemulihan korban. Misalnya, PP Nomor 28 Tahun 2024 yang masih mempersulit korban dalam mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Selain itu, pihak-pihak yang berada di garda terdepan penanganan kasus kekerasan seksual juga belum sensitif gender. Kita menemukan, di mana aparat masih menggunakan perkataan atau pertanyaan yang tidak berempati dengan korban. Kasus di Pacitan itu kan memperlihatkan bagaimana kepolisian justru jadi pelaku kekerasan seksual.” ujar Uli Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta

Di satu sisi, Jakarta Feminist mengapresiasi pekerja media yang aktif memberitakan kasus kekerasan seksual. Hal ini berkontribusi pada meningkatnya kesadaran masyarakat tingginya angka kasus kekerasan seksual yang terjadi. Namun demikian, Jakarta Feminist mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual.

“Terima kasih kepada media yang turut memantau kasus-kasus kekerasan seksual. Namun, kami juga mencatat beberapa media masih terjebak menggunakan judul yang sensasional, memakai terminologi yang tidak tepat dan berujung mengobjektifikasi korban. Ada juga yang masih luput menyamarkan identitas korban, menceritakan kronologi dengan sangat detil. Padahal, jika tidak hati-hati berita yang dimuat dapat memicu trauma korban. Korban rentan mengalami re-viktimisasi. Selain itu, berita yang tidak sensitif terhadap posisi korban dapat mengaburkan fokus masyarakat. Kita berharap masyarakat bisa fokus pada pengawasan proses hukum yang adil bagi korban, mendukung pemulihan korban, alih-alih fokus pada kronologi kasus yang korban alami.” tambah Anindya Restuviani, Direktur Program Jakarta Feminist.

Dalam kesempatan ini, Jakarta Feminist juga menekankan bahwa tindakan berpihak kepada korban dapat mencegah dampak kekerasan yang lebih ekstrem, yakni femisida. Pembunuhan terhadap perempuan yang didasari oleh misoginisme atau kebencian terhadap perempuan terjadi karena sikap abai masyarakat merespon kasus kekerasan berbasis gender.

“Jakarta Feminist di 2023 menemukan terdapat 180 kasus femisida dengan 187 korban. Artinya, setiap 2 hari, ada perempuan yang dibunuh. Di mana, 94% pelakunya adalah laki-laki. Kami juga menemukan beberapa kasus di mana pelaku melakukan kekerasan seksual sebelum ataupun sesudah membunuh korban. Tentu saja kejadian pilu ini bukan terjadi secara tiba-tiba. Femisida merupakan bentuk eskalasi paling akhir dari guyonan seksis, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak direspon secara serius.” jelas Anindya Restuviani, Direktur Program Jakarta Feminist.

Lebih lanjut, Jakarta Feminist dan LBH APIK Jakarta optimis. Kerjasama semua pihak, baik dari pendamping korban, penyedia layanan, aparat penegak hukum, masyarakat hingga pekerja media jadi kunci utama penanganan kasus kekerasan seksual dapat berjalan dengan baik.

“Prioritas utama kita adalah bagaimana semuanya saling bahu-membahu untuk #LindungiKorban. Di tengah kondisinya yang berat, kita mau korban tidak semakin sulit menjalani hari-harinya. Empati dan keberpihakan jadi hal yang dibutuhkan selama proses penanganan kasus kekerasan seksual.”Tutup Jakarta Feminist dan LBH APIK Jakarta.

*Jika Anda mengalami kekerasan berbasis gender dan seksual atau mengetahui seseorang yang mengalaminya, Anda dapat mencari informasi bantuan bagi korban melalui carilayanan.com

Tentang Jakarta Feminist:
Perkumpulan Lintas Jakarta Feminist (Jakarta Feminist) organisasi feminis berbasis di Jabodetabek yang bertujuan mempromosikan nilai-nilai feminis agar mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Jakarta Feminist merupakan inisiator Women’s March Jakarta, pengurus Feminist Fest, dan pencipta Cari Layanan, sebuah direktori lembaga layanan untuk korban-penyintas kekerasan berbasis gender.

Narahubung:
Astried
Communication Specialist
astried@jakartafeminist.com

Leave a comment